Metodologi penentuan awal bulan Qamariah, baik untuk menandai
permulaan Ramadhan, Syawal dan bulan lainnya harus didasarkan pada
penglihatan bulan secara fisik (
rukyatul hilal bil fi'ly). Sedangkan metode perhintungan astronomi (
hisab) dipakai untuk membantu prosesi rukyat.
Jumhurul madzahib (mayoritas imam madzhab selain madzhab Syafi'iyyah) berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan
menjadikan
ru'yatul hilal
sebagai dasar penetapan awal bulan Qamariah, khususnya Ramadhan, Syawal
dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Adapun
dasar hukumnya antara lain:
a. Hadist
muttafaq alaihi (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) yang berbunyi:
حدَّثَنَا آدَمُ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ
أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ
ثَلَاثِينَ
"
Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan),
dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal)
Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya'ban
menjadi 30 hari." (HR. Bukhari: 1776 dan Imam Muslim 5/354)